Akses Merata Layanan Kesehatan di Indonesia: Kesenjangan Antara Kota dan Daerah Terpencil
Kota VS Desa: Pertarungan Abadi di Layanan Kesehatan
Kalau bicara soal layanan kesehatan di Indonesia, kita bisa bilang ini seperti pertarungan epik antara kota https://www.danielbarkermd.com/ dan desa. Di satu sisi, rumah sakit megah menjulang di kota, lengkap dengan AC, dokter spesialis berjejer seperti antrian diskon 11.11. Di sisi lain, di daerah terpencil, puskesmas saja kadang lebih mirip rumah tinggal—dan dokternya bisa jadi cuma satu, itu pun bolak-balik karena harus jadi dokter, suster, dan kadang-kadang tukang ledeng juga.
Layanan kesehatan di kota sudah kayak hotel bintang lima. Ada ruang tunggu nyaman, ada apotek 24 jam, bahkan ada kafe buat nunggu hasil lab. Tapi coba tanya warga di pelosok Papua, Kalimantan, atau NTT. Untuk periksa gigi aja, harus naik perahu dulu, lanjut ojek, baru bisa ketemu petugas kesehatan yang mungkin juga baru lulus PTT.
Fasilitas: Lengkap di Kota, Minimalis di Desa
Kita enggak bisa tutup mata—fasilitas kesehatan memang terkonsentrasi di kota besar. Di Jakarta misalnya, RS swasta dan negeri berserakan seperti warung kopi. Alat kesehatan? Jangan ditanya, dari MRI, CT Scan, sampai alat USG 4D yang bisa lihat bayi dalam kandungan sambil ngedip.
Sebaliknya, di daerah terpencil, tensimeter saja kadang sudah tua dan pensiun dini. Obat? Kadang datang seminggu sekali, dan kalau hujan, bisa mundur jadi dua minggu. Sudah begitu, jaringan internet buat daftar BPJS-nya suka naik turun kayak sinyal hati mantan.
Tenaga Medis: Banyak di Kota, Langka di Pelosok
Kalau di kota, kita bisa pilih dokter spesialis kulit, jantung, syaraf, bahkan gigi gingsul. Tapi di desa? Kadang satu bidan pegang seluruh kampung. Dia yang bantu persalinan, dia yang kasih vaksin, dia juga yang nyari sinyal buat input laporan bulanan.
Padahal, akses merata layanan kesehatan itu hak semua warga negara. Masa yang tinggal di pelosok harus ngalah terus? Padahal mereka juga bayar pajak, ikut pemilu, dan sama-sama suka sinetron prime time.
Solusi? Bukan Sekadar Kirim Obat
Mengatasi kesenjangan layanan kesehatan bukan cuma soal kirim bantuan atau bangun puskesmas baru. Tapi juga soal distribusi tenaga medis yang adil, pelatihan berkelanjutan, dan teknologi yang merata. Telemedicine misalnya, bisa jadi jembatan antara spesialis di kota dan pasien di kampung. Tapi ya itu, jaringan internet jangan kayak hati gebetan—susah ditebak dan sering menghilang.
Penutup: Kesehatan Itu Hak, Bukan Privilege
Yuk, kita dorong pemerintah (dan kita sendiri juga!) supaya makin serius soal akses kesehatan yang merata. Jangan sampai warga di daerah terpencil cuma bisa berharap pada minyak kayu putih dan doa sebagai pertolongan pertama. Karena sehat itu bukan cuma untuk yang tinggal dekat mall, tapi juga buat yang tinggal di balik bukit dan sungai.
Lagipula, siapa tahu, dokter terbaik masa depan justru lahir dari desa yang belum punya puskesmas itu. Jangan remehkan kampung, Bro!